Sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Dalam Menghadapi Pergolakkan Umat

Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-‘Aqil
www.ilmusunnah.com

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Akan terjadi fitnah-fitnah (yang banyak), pada saat itu orang-orang yang duduk lebih baik dari orang-orang yang berdiri, orang-orang yang berdiri lebih baik dari orang-orang yang berjalan, orang-orang yang berjalan lebih baik dari orang-orang yang saa’ie (berlari-lari anak), dan sesiapa yang berbuat baik di saat itu maka ia akan diteguhkan dalam pendiriannya, dan sesiapa yang menemui tempat perlindungan maka hendaklah ia berlindung dengannya.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3601, 7081, 7082)Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dilahirkan di Harran pada tahun 661H ketika dunia Islam sama ada yang di timur mahupun yang di barat sedang dilanda oleh fitnah (pergolakkan) besar laksana ombak di lautan. Ketika itu, tentera Mongol melakukan serangan tehadap dunia Islam dengan kejam dan ganas sehingga menyebabkan kaum Muslimin lemah, hina, dan tercerai-berai. Serangan tentara Mongol tersebut menyebabkan runtuhnya kekhalifahan ‘Abbasiyyah pada tahun 656H dan mengakibatkan terbunuhnya ribuan kaum Muslimin serta membinasakan  tanaman dan haiwan ternakan. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Al-Imam Ibnul Atsir rahimahullah telah menuliskan dalam bukunya tentang serangan tentara Mongol tersebut.

“Sekian lamanya kulalui untuk tidak menuturkan peristiwa ini. Peristiwa itu merupakan suatu tragedi besar dan aku merasa berat untuk menyampaikannya. Aku merasa sangsi untuk mengungkapkannya. Siapakah yang rela hati untuk menuliskan malapetaka sedemikian besar yang telah menimpa umat Islam dan kaum Muslimin? Siapakah yang tidak merasa berat ketika menuliskan peristiwa tersebut? Alangkah baiknya jika ibuku tidak melahirkanku dan alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini terjadi, sehingga aku menjadi orang yang dilupakan. Hanya cuma sejumlah sahabat-sahabat telah mendorongku untuk menuliskannya. Aku sempat berhenti dari menceritakannya, namun akhirnya aku memikirkan bahawa menutup cerita ini tidak akan memberikan manfaat. Maka, berikut adalah sebagaimana apa yang kami catatkan.

Perbahasan ini mencakup penyebutan peristiwa besar dan musibah besar yang menjadikan hari-hari dan malam-malam begitu kelam, tidak ada yang sepertinya. Dan itu dideritai oleh seluruh makhluk, khasnya kaum Muslimin. Seandainya ada yang berkata:

“Sesungguhnya sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam sehingga sekarang, belum pernah ada fitnah (tragedi) yang lebih besar berbanding tragedi ini…”

tentulah pernyataannya itu benar.

Belum pernah tercatat di dalam sejarah satu peristiwa yang menyamai atau mendekatinya sekalipun. Sebutlah pembunuhan terhadap Bani Israil dan penghancuran Baitul Maqdis yang dilakukan oleh Nebuchadnezzar. Penghancuran Baitul Maqdis tidaklah sebanding dengan penghancuran sekian banyak kota yang dilakukan oleh orang-orang (Mongol) terkutuk tersebut; bahkan kerosakan satu kota saja besarnya berkali-lipat lebih besar dibandingkan dengan Baitul Maqdis. Demikian pula, jumlah Bani Israil yang dibunuh tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan banyaknya kaum Muslimin yang telah dibunuh tentara Mongol tersebut. Kerana, penduduk satu kota saja dari kota-kota yang mereka binasakan sudah melebihi jumlah Bani Israil.

Mungkin orang-orang tidak pernah melihat peristiwa seperti ini yang mengakibatkan alam hancur dan dunia binasa, melainkan pada saat muncul Yakjuj dan Makjuj ketika (menjelang datangnya hari Kiamat).

Seandainya Dajjal masih membiarkan hidup orang-orang yang mahu mengikutinya, dan hanya membinasakan sesiapa yang menentangnya, maka kekejaman tentera Mongol ini tidak membiarkan seorang pun. Mereka bahkan membunuh kaum perempuan, lelaki, dan anak-anak. Tidak hanya itu, mereka juga membelah perut ibu-ibu yang sedang mengandung bayinya lalu membunuhnya. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Semua bencara ini terjadi tentu atas izin Allah. Keburukannya menerpa seperti angin, kesannya menjamah seantero negeri, bagaikan awan yang digerakkan oleh angin.

Tentera Mongol keluar dari penjuru negeri China lalu menuju kota-kota di Turkistan, seperti Kashgar dan Balasaghon, kemudian mereka menuju Samarkand, Bukhara, dan kota-kota lainnya. Mereka berjaya menguasai seluruh kota yang mereka lalui, lalu membunuh seluruh penduduknya dengan sangat kejam, tanpa kecuali. Kemudian satu kelompok dari mereka menyeberang ke Khurasan, di sana mereka menguasai, menghancurkan, membunuh dan merampas harta-harta benda yang ada. Selanjutnya mereka menuju Ar-Ray, Hamadan, dan negeri-negeri yang berada di sekitar pergunungan hingga sampai ke perbatasan ‘Iraq. Kemudian ke negeri-negeri Azerbaijan dan Armenia, mereka menghancurkannya dan membunuh majoriti penduduknya. Hanya sedikit sekali yang selamat, itu pun kerana meraka berjaya melarikan diri. Tidakan kejam tentara Mongol ini berlangsung kurang dari setahun. Kejadian seperti ini belum pernah terdengar sebelumnya.

Setelah Azerbaijan dan Armenia dikuasai, selanjutnya mereka menuju negeri Darbandisyarwan dan berjaya menguasai kota-kotanya. Tidak ada yang selamat kecuali sebuah benteng yang di dalamnya berdiri kerajaan mereka. Dari sana mereka menyeberang ke negeri Lan dan Lakaz; lalu mereka membunuh, merampas, dan menghancurkannya. Kemudian ke negeri-negeri Qafjaq yang majoriti penduduknya berbangsa Turki, dan mereka membunuh setiap orang yang menghadangnya. Sebahagian penduduk lainnya melarikan diri ke hutan-hutan dan puncak-puncak gunung meninggalkan negeri mereka, sampailah akhirnya negeri tersebut berjaya dikuasai oleh orang-orang Tartar. Semua ini mereka lakukan dalam waktu yang singkat, seolah-olah meraka tidak perlu menghentikan perjalanan untuk membinasakan semua itu.

Sementara pasukan Tartar yang lainnya terus bergerak menuju Ghazzah serta daerah-daerah yang berada di sekitarnya; seperti India, Sijistan, dan Karman yang berjiran. Di sini mereka bertindak seperti apa yang dilakukan oleh kelompok pertama, bahkan lebih kejam lagi. Perbuatan ini merupakan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga sebelumnya.

Bila dibandingkan, Iskandar Dzul-Qarnain saja, yang telah disepakati oleh para ahli sejarah sebagai raja dunia, tidak dapat menguasai banyak wilayah dalam waktu secepat ini. Beliau memerlukan waktu sepuluh tahun untuk mampu menguasai wilayah-wilayah tersebut dan itu pun tanpa menumpahkan darah, bahkan orang-orang dengan rela mentaatinya. Sedangkan tentara Mongol mampu menguasai sekian banyak wilayah hanya dalam waktu satu tahun. Ironinya, sebahagian besar negeri yang mereka kuasai merupakan daerah yang sangat subur, indah dan memiliki penduduk yang banyak. Bahkan mereka adalah penduduk bumi yang paling lurus akhlak dan kehidupannya ketika itu.

Semua negeri yang belum tersentuh oleh kekejaman tentera Tartar akan sentiasa merasa ketakutan, dan penduduknya terus mengawasi bilakah kedatangan mereka. Pasukan mereka tidak memerlukan perbekalan ataupun bantuan pasukan. Kerana mereka selalu membawa kambing, lembu, kuda, dan haiwan-haiwan lainnya yang dapat dimakan dagingnya. Sementara haiwan yang mereka tunggangi boleh memakan apa saja yang mereka temui di jalanan, dan ia tidak mengenal gandum. Sehingga tatkala singgah di suatu tempat, mereka tidak memerlukan sesuatu apa pun dari luar. Orang-orang  Tartar menyembah matahari ketika terbit dan mereka tidak mengenal istilah haram. Mereka memakan semua binatang melata, termasuk anjing, babi, dan yang lainnya. Mereka juga tidak mengenal pernikahan. Sehingga seorang perempuan dapat digauli oleh ramai sekali lelaki, dan anak yang dilahirkannya tidak akan pernah mengenal ayahnya.

Fitnah tentera Tartar menjadi satu ujian besar bagi Islam dan kaum Muslimin yang belum pernah menimpa umat mana pun sebelumnya. Semoga Allah menghancurkan mereka. Mereka datang dari sebelah timur lalu melakukan sekian banyak kekejian, dan siapa yang mendengarnya pasti akan meremang ketakutan. Perkara ini akan dilanjutkan pada perbahasan yang akan datang, insyaa-Allaah Subhanahu wa Ta’ala.

Fitnah lain yang menimpa umat Islam adalah ekspedisi tentera asing (Eropah) –semoga Allah melaknat mereka; dari barat menuju Syam. Salah satu tujuannya adalah menguasai benteng Dimyath di Mesir. Hampir-hampir seluruh daerah yang berada di Mesir, Syam, dan daerah-daerah lainnya berjaya mereka kuasai, seandainya tidak ada kasih-sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya atas mereka. Kisah ini telah kami paparkan ketika membicarakan peristiwa pada tahun 614H.

Fitnah yang lainnya adalah ada kaum Muslimin yang tidak terjamah oleh kekejaman kedua kelompok tersebut (yakni kekejaman bangsa Tartar dan Eropah), namun telah terjerumus dalam perang saudara antara sesama mereka. Perbahasan ini telah kami bahaskan sebelumnya. Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Kami memohon kepada Allah semoga Dia memudahkan bagi Islam dan kaum Muslimin pertolongan dari sisi-Nya, kerana sesungguhnya penolong dan pembela Islam sekarang ini tidak ada. Allah berfirman:

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ (11)

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Surah Ar-Rad, 13: 11).” (Al-Kamiil fit Tarikh oleh Ibnul Atsir, 10/399-401)

Pada masa-masa genting inilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tumbuh (mula muncul). Sebagaimana sebahagian muslim lainnya, beliau tumbuh dalam lingkungan yang disinari oleh agama dan ilmu. Inilah yang membuat beliau berkeinginan membela Islam. Hatinya prihatin ketika menyaksikan kelemahan, kehinaan, dan perpecahan kaum Muslimin. Allah menghendaki kebaikan baginya dan bagi kaum Musimin, dan kerananyalah Allah menganugerahkan pengetahuan dan pemahaman berkaitan Islam serta memberikan kemudahan padanya untuk memahaminya.

Dengan sebab semua keadaan tersebut, Ibnu Taimiyyah pun mula memberi perhatian pada keadaan umat dan penyebab terjadinya kelemahan, kehinaan, dan perpecahan di antara mereka. Ternyata penyebabnya adalah kerana kejahilan terhadap ajaran agama, sama ada yang bersifat dasar (ushul) mahupun hal-hal yang ada di bawahnya (dari cabang-cabangnya), serta jauhnya umat dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ditambah lagi dengan berleluasanya pelbagai jenis bid’ah dan adat kebiasaan yang tidak bersesuaian dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Kerana itulah, Ibnu Taimiyyah bertekad untuk melakukan perkara-perkara yang dapat mempersatukan dan memperbaiki keadaan masyarakat (umat Islam) ketika itu. Beliau menyedari bahawa umat ini hanya dapat diperbaiki dengan apa yang telah memperbaiki generasi awal umat Islam terdahulu. Dengan penuh kesabaran, beliau rahimahullah mengerahkan tenaga dan waktunya untuk belajar, beramal, dan mengajak orang-orang untuk mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan Ibnu Taimiyyah menjelaskan kepada masyarakat bahawa itulah satu-satunya jalan yang dapat mengembalikan keutuhan umat ini.

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menulis mengenai biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

“Pada masanya, guru kami yakni Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) adalah orang yang paling menonjol dalam bidang ilmu, pengetahuan, keberanian, dan kebijaksanaan. Dirinya ibarat sinar ilahi dan potret kemuliaan. Beliau sangat prihatin untuk menasihati masyarakat, dan paling teguh dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar.

Ibnu Taimiyah mendengar hadis-hadis (yakni mempelajarinya – pent.) dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Beliau juga menulis, men-takhrij, serta meneliti para perawi dan kedudukannya, sehingga beliau mampu mendapatkan apa yang belum didapatkan oleh ulama selainnya (pada ketika itu). Beliau juga menonjol dalam Tafsir Al-Qur’an dan mampu menyelami kedalaman maknanya. Beliau senang mendalami ayat-ayat yang dianggap rumit sehingga beliau mampu menarik kesimpulan yang belum pernah dibahaskan oleh ulama sebelumnya. Beliau juga sangat teliti dalam bidang ilmu hadis serta banyak menghafalnya. Sedikit sekali orang seperti dirinya yang dapat menghafal hadis-hadis secara lengkap dangan sanad-sanadnya sampai ke perawi terawal dan Sahabat-sahabat yang meriwayatkannya. Di samping itu, hafalan hadisnya sangat kuat tatkala menyampaikannya.

Ibnu Taimiyah juga memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih, mendalami perbezaan pendapat antara mazhab, serta menguasai fatwa-fatwa para Sahabat dan Tabi’in. Sehingga ketika menyampaikan suatu fatwa, beliau tidak hanya berpegang kepada satu mazhab, akan tetapi mampu berpegang kepada dalil yang menjadi landasan dalam menentukan sesuatu hukum. Beliau juga menguasai bahasa ‘Arab, sama ada yang sifatnya mendasar mahupun cabang-cabangnya, dalam permasalahan perubahan kata ataupun perbezaan bahasa. Ibnu Taimiyyah juga menguasai mantiq (falsafah) dan pendapat-pendapat para ahli kalam. Beliau membantah serta memberi tahdzir (peringatan) terhadap kekeliruan mereka.Sahabat Nabi, ‘Abdullah B. ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya pada pintu-pintu pemerintah itu terdapat fitnah seperti bonggol unta. Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, tidaklah kami mendapatkan keuntungan duniawi daripada mereka sedikitpun melainkan merekalah yang akan mendapatkan keuntungan yang semisalnya dari agama kamu.” (Mushannaf ‘Abdirrazzaq, no. 20644. Ibn ‘Abdil Barr, Jaami’ Bayaan al-‘Ilm wa Fadhlihi, no. 604. Al-‘Uzlah oleh al-Khaththabi, no. 230. Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, 14/295)

Ibnu Taimiyah membela sunnah dengan hujjah yang sangat jelas dan bukti yang sangat terang, dan hal tersebut telah mengusik orang-orang yang menyimpang dalam keyakinan tentang dzat Allah. Beliau diuji dalam membela sunnah yang murni sehingga Allah meninggikan darjatnya, dan sampailah beliau mampu menghimpun hati orang-orang yang bertaqwa untuk mencintai dan mendo’akannya. Allah membinasakan musuh-musuh-Nya melalui dirinya. Allah memberi petunjuk kepada beberapa orang pengikut agama lain dan terhadap pengikut aliran sesat (juga melalui dirinya). Dan Allah menjadikan hati para raja dan penguasa tunduk dan mentaatinya.

Kehadirannya telah menghidupkan kembali negeri Syam, bahkan juga agama Islam setelah hampir-hampir ternoda. Yakni dengan meneguhkan hati para penguasa tatkala kelompok Tartar dan para pemberontak datang dengan penuh keangkuhan dan timbul prasangka yang bukan-bukan terhadap Allah. Sehinggakan orang-orang Mukmin digoncang (diuji dengan ujian yang dahsyat) dan kemunafikan mula menjulurkan leher seraya menampakkan wajahnya…”

Selanjutnya, Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menegaskan:

“Kebaikan-kebaikan Ibnu Taimiyah cukup banyak dan kisah-kisah kehidupannya terlalu besar untuk diceritakan oleh orang sepertiku. Seandainya aku dapat bersumpah di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim, tentulah aku akan bersumpah bahawa kedua mataku tidak pernah melihat orang yang semisal dengannya; bahkan beliau sendiri pun tidak pernah melihat orang yang semisal dengan dirinya.” (Dzail Thabaqaat Al-Hanaabilah, 4/389)[1]

Aku menyebutkan penukilan dari Adz-Dzahabi ini bukan untuk memuji Syaikhul Islam rahimahullah, walaupun beliau memang layak mendapatkannya. Adapun tujuan dari penukilan ini adalah bertujuan untuk menjelaskan manhaj yang ditempuhnya ketika terjadi fitnah (pergolakkan) dalam kalangan umat Islam, dan bagaimana Allah menjadikannya bermanfaat bagi umat ini dalam menangani fitnah-fitnah yang terjadi pada zamannya. Pengaruhnya masih tetap bermanfaat bagi umat hingga hari ini.

Ada dua sisi fenomena penting yang dapat kita lihat pada masa kehidupan Syaikhul Islam rahimahullah.

Pertama: Dilihat dari aspek politik, kesatuan kaum Muslimin terpecah-belah pada ketika itu, sementara mereka tidak disatukan oleh satu institusi Daulah Islamiyah. Dalam keadaan seperti ini, mereka dihadapkan kepada peperangan melawan bangsa Tartar, yang memberi akibat jatuhnya kekhilafahan ‘Abbasiyyah. Padahal, kekhilafahan ‘Abbasiyyah ini cukup berkesan untuk menyatukan mereka meskipun sekadar nama saja. Sebelumnya telah dijelaskan berkaitan fitnah besar yang menimpa kaum Muslimin akibat kekejaman bangsa Tartar.

Sementara itu, serangan pasukan Salib pun tidak kurang bahayanya berbanding serangan bangsa Tartar. Selama dua abad, dari akhir abad ke-5 hingga akhir abad ke-7, mereka telah melakukan beberapa siri penyerangan terhadap dunia Islam. Penyerangan-penyerangan ini menyebabkan lemahnya kaum Muslimin sehinggalah akhirnya Allah membebaskan mereka dari bencana tersebut. Kita memohon kepada Allah semoga menyelamatkan kaum Muslimin dari kejahatan mereka pada zaman sekarang ini.

Dunia Islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa negara dan pemerintahan-pemerintahan kecil. Setiap negara (keci) dipimpin oleh seorang amir dan pada setiap dearah terdapat seorang sultan. Syaikhul Islam hidup pada masa daulah Mamalik Al-Bahriyyah yang berpusat di Mesir. Daulah Mamalik Al-Bahriyyah berkuasa semenjak tahun 648-784H. (Lihat: Al-Ahsrul Mamalik fii Mishr was Syam karya Said ‘Asyur – cetakan Mesir tahun 1965M)

Ketika itu, wilayah Syam termasuk salah satu negara yang tunduk kepada Mamalik tersebut. Melaluinya mereka menguasai negara-negara yang lain, seperti Syam dan negara yang lainnya. Namun, mereka menjalani kehidupan sosial yang dipenuhi dengan konflik dalaman, sehingga mereka sendiri saling memerangi dan menguasai, padahal bangsa Tartar sudah bersiap-sedia untuk memerangi mereka.

Kedua: Dilihat dari aspek ilmiyah, kelihatan adanya perkembangan ilmiyah sebagaimana berikut:

A, Pembangunan/pembinaan beberapa sekolah dan perpustakaan.

B, Ditulisnya ensiklopedia di bidang hadis dan para perawinya.

C, Adanya perhatian terhadap ilmu mantiq dan ‘aqidah yang terbina di atasnya.

D, Seruan untuk bermazhab dan menutup pintu-pintu ijtihad.

E, Tersebarnya pelbagai jenis bid’ah dalam perkara ilmu dan ‘aqidah, seperti wihdatul wujud dan bid’ah-bid’ah yang dirayakan setiap tahun.

Sekalipun ada usaha untuk mendakwahkan ilmu-ilmu syari’at, namun masih terdapat kekurangan yang boleh menyebabkan kerosakan dalam bidang ‘aqidah dan ibadah. Hal inilah yang menjadi penyebab umat ini lemah dan hina.

Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi rahimahullah berkata:

“Kerana itulah, bukan suatu perkara yang menghairankan jika tersebar di tengah-tengah mereka pemujaan terhadap perayaan maulid dan hari-hari yang mereka agungkan. Semua itu dibisikkan oleh syaitan dari kalangan jin kepada syaitan dari kalangan manusia agar mereka menyembah orang-orang yang telah meninggal dunia di samping menyembah Allah. Dan semua itu dilakukan atas nama Islam. Juga bukan termasuk perkara yang menakjubkan jika mereka mengagungkan dan menyucikan kubah-kubah peribadatan, pokok-pokok, kuburan, dan binaan-binaannya yang mana mereka benar-benar menyanjungnya. Akibatnya, ‘aqidah tauhid luput dari hati manusia, dan bersama itu mati pula hati-hati mereka. Sementara khurafat dan bid’ah terus tersebar luas dan berleluasa.

Keadaan ini menjadi bukti paling kuat atas besarnya kurniaan Allah kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berupa petunjuk pengetahuan dan pemahaman terhadap agama. Demikian pula, beliau dikurniakan ilmu yang sahih dan disingkap dari hatinya kebiasaan-kebiasaan Jahiliyyah yang kelam, sehingga beliau mampu memahami Islam yang sahih dan ‘aqidah sahih yang dibawa oleh para Rasul dan juga rasul terakhir; Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dari sini tentu dapat dibayangkan bagaimana rintangan yang dihadapi oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dalam berdakwah. Juga betapa besarnya kurniaan yang telah Allah berikan kepada kita mahupun kepada seluruh umat manusia berkat dakwah kedua imam agung dan mujahid besar ini. Melalui keduanya, Allah menegakkan hujjah dan jalan yang benar. Melalui keduanya pula Allah hidupkan kembali sunnah dan syari’at Islam yang telah dilupakan. Padahal pada ‘aqidah yang benar itulah Allah meletakkan petunjuk, rahmat, dan penawar hati bagi manusia ini yang akan menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, ia merupakan tapak tempat berdirinya bangunan Islam yang sahih. Sementara ‘aqidah yang benar hanya dapat diwujudkan dengan membebaskan diri dari taqlid buta meskipun kepada orang-orang yang dianggap soleh dan ‘alim, agar hanya Kitab Allah dan petunjuk Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam saja yang diikuti.” (Muqaddimah Tahqiiq Kitab At-Tuhfah Al-Lathiifah, 1/13-14)

Syaikh Dr. Soleh bin Fauzan Al-Fauzan berkata:

“Syaikhul Islam hidup pada masa yang di dalamnya Islam begitu terasing; kesatuan kaum Muslimin terpecah-belah; firqah-firqah yang bertentangan dengan manhaj Salaf dalam perkara ‘aqidah dan furu’ (cabang-cabang syari’at) berleluasa di sana sini; pintu ijtihad tertutup dan taqlid buta berkuasa; firqah Syi’ah dan kelompok sufi yang menyimpang muncul; pemujaan terhadap kubur begitu subur; orang-orang tidak mengakui sifat-sifat Allah; dan aliran Qadariyah juga berkembang pesat. Demikian pula, ilmu mantiq dan falsafah tumbuh subur, sehingga ianya mengambil alih posisi Al-Qur’an dan  As-Sunnah (sebagai landasan utama dan tertinggi) dalam kalangan majoriti penuntut ilmu ketika mereka beristidlal.

Semua fitnah inilah yang telah terjadi di kalangan masyarakat Islam ketika itu. Sementara dari luar, musuh-musuh Islam sentiasa bersiap-sedia menyerang kaum Muslimin di tengah-tengah negeri mereka sendiri. Pasukan Tartar menyerbu dari timur, mereka menyerang perkampungan-perkampungan kaum Muslimin. Dari arah barat pula, muncul pasukan Salib mencabik-cabik mereka.

Dalam keadaan seperti inilah, Ibnu Taimiyah muncul bagaikan sinar yang menerangi. Beliau mengajar murid-muridnya menulis beberapa Kitab dan risalah; memberikan fatwa-fatwa tentang beberapa peristiwa dan masalah; mengadakan dialog dengan orang-orang sesat; membantah orang-orang yang menyimpang dan menentang beberapa firqah dan kelompok-kelompok sesat, membantah aliran Syi’ah dan Qadariyyah, golongan mantiq dan falsafah, aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah yang menafikan dan mentakwil sifat-sifat Allah; juga menulis bantahan-bantahan (kritikan ilmiyah) ke atas kelompok sufi yang menyimpang, para pemuja kubur, dan para pelaku bid’ah lainnya.

Di antara yang beliau lakukan juga adalah menggerakkan orang-orang yang berada dalam kebekuan fiqih dan kelemahan berfikir agar dapat mengembalikan fiqih kepada dasar-dasarnya yang sahih dan sumber-sumbernya yang jernih, membenarkan yang sahih, dan menyatakan kesalahan yang salah. Melalui usaha inilah beliau berjaya mengembalikan kemurnian syari’at Islam ini dan kejernihan ilmu-ilmu yang dikandungnya. Semua ini dapat dibuktikan melalui sekian banyak karya yang ditinggalkan oleh beliau sebagai khazanah keilmuan islam yang melimpah.” (lihat: Min A’laam Al-Mujaddidiin Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyyah oleh Dr. Soleh bin Fauzan Al-Fauzan; Majallah Al-Buhuuts Al-‘Ilmiyyah, edisi 18, m/s. 261)

Inilah manhaj yang ditempuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau telah mengenal pasti penyakit kronik yang menular dalam kalangan masyarakat ketika itu. Lalu beliau pun merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mendapatkan penawar yang bermanfaat untuk penyakit ini. Setelah menemukannya, beliau pun mula mempelajari dan mengajarkannya. Sekalipun ditentang oleh sebahagian ulama dan masyarakat pada masanya, namun perkara tersebut tidaklah memudharatkan tekadnya. Beliau tetap melanjutkan dakwahnya, bersungguh-sungguh dan bersabar, sampailah [melalui kedua tangannya] Allah memperbaiki sekian banyak umat yang hidup pada masanya dan juga mereka yang datang setelah masanya.

Selain jihad ilmu dan dakwah yang berkesinambungan, Allah juga telah memuliakan Ibnu Taimiyyah dengan jihad amali (perbuatan), iaitu berjihad dengan pedang dan anak panah. Perkara ini dibuktikan dengan keikut-sertaan beliau dalam memerangi kaum Tartar yang telah membuat kerosakan di muka bumi. Ibnu Taimiyyah turun dalam peperangan ketika penaklukan musuh telah mencapai wilayah dataran tinggi Damaskus. Peristiwa tersebut berlangsung setelah kekalahan kaum Muslimin pada Perang Qazan tahun 699H. Akibat dari kekalahan ini, sultan beserta pasukannya telah kembali ke Mesir. Bahkan banyak dari pembesar-pembesar Damaskus sama-sama berkongsi ke Mesir hingga tidak banyak pembesar yang tersisa di wilayah tersebut. Akibatnya, tidak ada yang memimpin kota tersebut kecuali seorang wakil yang masih menjaga benteng pertahanan. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah oleh Ibn Katsir, 14/8)

Waktu itu masyarakat ditimpa oleh rasa takut yang amat mencengkam. Keadaan pun menjadi kacau-bilau setelah tersebar berita bahawa bangsa Tartar hendak memasuki Damaskus. Maka berkumpullah pembesar kota tersebut bersama Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah. Mereka sepakat untuk menghadang pasukan Qazan agar penduduk Damaskus merasa aman.

Mereka pun bertolak untuk menghadang pasukan Qazan, dan di sana Syaikh Taqiyuddin menyampaikan sebuah pidato yang menggugah dan mendalam. Isi pidato tersebut mengandungi kemaslahatan yang besar bagi kaum Muslimin. Setelah terjadinya beberapa peristiwa penting; di antaranya penolakan penguasa Benteng Damaskus unuk menyerahkan benteng kepada bangsa Tartar atas saranan daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dan keputusan itu sangat bermanfaat bagi penduduk Syam. Demikianlah Allah menjaga benteng dan pertahanan ini untuk penduduk Syam agar kota tersebut sentiasa menjadi sebuah negeri yang aman dan sunnah hingga datangnya ‘Isa bin Maryam turun di sana. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/9)

Sekalipun Qazan telah menjanjikan keamanan bagi penduduk Damaskus, namun pasukannya telah membuat kerosakan tatkala memasukinya. Kerana, mereka sememangnya tidak mengenal erti sebuah perjanjian sedikit pun. Mereka membunuh, menawan, dan menghancurkan bangunan-bangunan yang ada. Lalu Syaikhul Islam dan penduduk kota yang masih tersisa pun berkumpul dan bertekad untuk kembali menemui Qazan untuk mengingatkannya tentang perjanjian (yang telah dibuat), dan menyampaikan bahawa pasukannya telah melanggar perjanjjian. Akan tetapi beliau kembali setelah dua hari tanpa mencapai kesepakatan dengannya. Kegagalan itu kerana beliau telah dihalang oleh seorang menteri yang bernama Sa’duddin dan seorang penasihat kerajaan yang bernama Al-Muslimani bin Al-Yahudi. Keduanya telah berjanji akan menyampaikan maksud beliau. Selain itu, pasukan Tartar tidaklah mendapatkan sesuatu yang banyak dari mereka sehingga saat ini, padahal mereka seharusnya mendapatkan sesuatu.

Setelah itu, Panglima Tartar yang bernama Qazan kembali ke negerinya dan membiarkan sebahagian wakilnya untuk terus melakukan kerosakan di negeri Syam. Lalu Syaikhul Islam keluar menemui mereka dan berunding mengenai pembebasan tawanan kaum Muslimin yang ada. Akhirnya, beliau berjaya membebaskan ramai tawanan dari tangan orang-orang Tartar.

Dalam kesempatan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah membuat persiapan untuk memerangi para perosak tersebut. Sebelumnya, Sultan Mesir telah bertekad untuk memerangi bangsa Tartar di Syam dengan mengirim pasukan (tentera) dan menyerukan kepada masyarakat Damaskus agar bersiap-sedia bergabung dengan pasukan Mesir untuk memerangi bangsa Tartar, menjaga kota, dan menghadang pasukan Tartar di gerbang-gerbang kota. Maka berkumpullah kaum Muslimin di sekitar gerbang-gerbang kota.

Setiap malam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membuat rondaan untuk memotivasikan kaum Muslimin agar tetap bersabar dan bertekad untuk berjihad. Beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat tentang jihad dan keutamaan berjaga di perbatasan. Pada waktu itu, telah terjadi pertikaian antara Syaikhul islam dengan ahlul hal wal ‘aqdi di dalam kota, juga dengan sebahagian orang-orang fasik dan pengkhianat-pengkhianat yang membantu bangsa Tartar dalam memerangi kaum Muslimin. Mereka itu berasal dari kelompok Rafidhah dan Bathiniyyah yang berasal dari penduduk negeri. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/11-13)

Di awal tahun 700H, terdengar khabar bahawa pasukan Tartar bersiap untuk menuju negeri Syam; mereka ingin memasuki Mesir. Orang ramai pun menjadi gelisah. Mental mereka semakin hancur dan tidak tahu apakah lagi yang harus mereka lakukan, kerana pasukan Tartar terkenal suka melakukan kerosakan (keganasan) dan sangat jahat. Lalu mereka merancang untuk lari ke negeri Mesir, Karak, Syaubak dan benteng-benteng yang lebih kukuh.

Berhadapan dengan keadaan seperti ini, Syaikhul Islam rahimahullah pun bangkit untuk menjalankan tugas meneguhkan hati orang ramai dan membacakan kepada mereka beberapa ayat dan hadis-hadis yang berhubungan dengannya. Beliau juga melarang masyarakat tergesa-gesa memutuskan untuk melarikan diri. Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga menganjurkan mereka agar menginfakkan harta untuk membela kaum Muslimin, negara dan harta mereka; dan bahawa harta yang dikeluarkan untuk perbelanjaan melarikan diri akan menjadi lebih baik jika diinfaqkan ke jalan Allah. Beliau mewajibkan jihad melawan bangsa Tartar dalam keadaan seperti ini, dan membuat beberapa majlis untuk tujuan tersebut. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/16)

Tatkala kedatangan Sultan Mesir ke Damaskus dibatalkan dan musuh semakin mendekat, orang-orang yang ada di Damaskus semakin diselubungi rasa takut dan keadaan menjadi semakin kelam-kabut. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun keluar menemui wakil penguasa Syam, lalu beliau pun memotivasikan meraka, menguatkannya, menenteramkan hatinya, serta menyakinkan adanya pertolongan Allah dan kemenangan atas musuh-musuh, seraya membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ذَلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (60)

“Demikianlah, dan siapa yang membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah dia deritai kemudian dia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Surah Al-Hajj, 22: 23)

Ibnu Taimiyyah bemalam di kalangan pasukan (tentera), kemudian beliau kembali ke Damaskus. Para penguasa dan gabernor (menteri/wakil wilayah) memintanya pergi ke Mesir secepat mungkin dan meminta agar sultan untuk datang membantu. Maka beliau pun langsung mendatangi sultan yang telah sampai ke persisir pantai, namun beliau tidak berjaya menemuinya kecuali setelah memasuki Cairo, sehingga menjadikan keadaan lebih sukar.

Ibnu Taimiyyah langsung menganjurkan mereka agar mempersiapkan pasukan menuju Syam, jika memang mengambil berat terhadapnya. Di antara perkataan Ibnu Taimiyyah kepada mereka adalah:

“Jika kalian tidak mahu membantu rakyat Syam dan menolak dari melindunginya, maka kami akan menunjuk orang lain untuk menjadi sultannya agar dia dapat memayungi dan melindunginya serta memanfaatkannya pada waktu yang aman.”

Tanpa henti, Ibnu Taimiyyah terus berusaha mendorong mereka sehingga akhirnya pasukan dari Mesir pun dikirimkan ke Syam. Kemudian beliau berkata kepada mereka:

“Seandainya ditaqdirkan bahawa kalian bukan orang yang melindungi Syam dan bukan pula raja ke atasnya, lalu penduduknya meminta pertolongan kepada kalian, tentu kalian tetap memiliki kewajiban untuk menolongnya. Lalu, bagaimana jika kalian memang benar-benar pemerintah dan sultan baginya dan mereka adalah rakyat yang menjadi tanggungjawab bagi kalian.”

Ibnu Taimiyah terus menguatkan hati mereka dan meyakinkan datangnya kemenangan dari Allah dalam pertempuran ini, sampailah akhirnya mereka pun keluar menuju Syam.

Tatkala pasukan sampai ke Syam, orang ramai pun sangat bergembira setelah sebelumnya mereka berputus-asa mengenangkan jiwa, keluarga, dan harta.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tinggal di negeri Mesir selama lapan hari untuk menyerukan mereka agar berjihad dan keluar menghadapi musuh. Sepanjang di kota tersebut, Ibnu Taimiyyah telah mengadakan pertemuan bersama sultan, para menteri, dan tokoh-tokoh terkemukanya, hingga mereka pun memenuhi seruannya untuk berjihad melawan Tartar. Kemudian datang khabar bahawa Raja Tartar telah mengharungi Sungai Eufrat untuk kembali ke negaranya pada tahun tersebut. Khabar gembira ini menenangkan hati rakyat. Mereka dapat kembali ke rumah masing-masing dengan aman dan penuh kebahagiaan. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/17)

Akan tetapi, kejahatan tentera Tartar tidak berakhir sampai batasan ini saja. Pada tahun 702H mereka kembali untuk memerangi dan membuat kerosakan di negeri-negeri Islam. Mereka sampai di Hims dan Ba’labak seraya membuat kerosakan di sana. Orang ramai pun menjadi semakin tertekan dan sangat ketakutan; keadaan menjadi semakin tidak menentu setelah mengetahui kelewatan kedatangan bantuan pasukan (tentera) dari sultan. Orang-orang berkata:

“Pasukan (tentera) kaum Muslimin tidak mungkin mampu melawan tentera Tartar, kerana jumlah mereka sangat ramai. Yang mampu dilakukan hanyalah mundur setahap demi setahap.”

Semua orang mula membicarakan permasalahan yang menakutkan ini. Para pemimpin berkumpul di tanah lapang (tempat pertemuan rasmi) dan mereka bersepakat untuk melawan musuh. Mereka memberikan semangat untuk diri sendiri dan menyebarkan seruan di seantero kota agar tidak ada seorang pun yang pergi meninggalkan kota. Seruan ini telah berjaya menanamkan ketenangan pada masyarakat. Sementara para hakim pula berkumpul di masjid jami’ dan memerintahkan agar semua ulama dan masyarakat awam bersumpah untuk berperang.

Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah menghampiri pasukan yang datang dari Hamah. Mereka bertemu di salah satu wilayah, di sana beliau menyampaikan bahawa para pemimpin dan seluruh rakyat telah bersepakat untuk melawan musuh. Mendengar khabar tersebut, pasukan itu pun langsung menyambut dan turut bergabung. Syaikhul Islam bersumpah di hadapan para pemimpin dan orang-orang yang hadir bahawa mereka akan mendapatkan kemenangan (dari Allah) dalam peperangan ini. Lalu para pemimpin tersebut berkata kepadanya:

“InsyaAllah, itu pasti akan terjadi; bukan hanya sekadar kemungkinan.”

Beliau berhujah dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“…kemudian dia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya.” (Surah Al-Hajj, 22: 60)

Orang ramai pun membicarakan tentang alasan memerangi tentera Tartar ketika itu. Kerana, secara zahirnya mereka (kaum Tartar pada ketika itu) tampak beragama Islam, dan tidak pula memberontak terhadap pemerintah. Tetapi, mereka belum pernah menyatakan ketaatan kepada seorang khalifah pun kemudian malah melakukan pemberontakan.

Syaikhul Islam berkata:

“Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok Khawarij yang dahulunya mengadakan pemberontakan terhadap ‘Ali dan Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhuma. Orang-orang Khawarij itu menganggap dirinya lebih berhak atas kepimpinan berbanding keduanya. Mereka mendakwa bahawa dirinya lebih berhak untuk menegakkan kebenaran berbanding kaum Muslimin yang lainnya. Mereka juga mencela (mengkafirkan) kaum Muslimin yang melakukan kemaksiatan dan kezaliman. Padahal sebaliknya, penyimpangan merekalah yang berkali-lipat lebih besar.”

Penjelasan tersebut telah menjadikan para ulama dan orang-orang memahami permasalahan dengan sebenar-benarnya.

Di antara ungkapan Ibnu Taimiyah:

“Jika kalian melihatku melakukan seperti mereka, sementara di atas kepalaku terdapat mushaf, maka bunuhlah aku.”

Perkataannya ini telah menambah semangat orang-orang untuk memerangi Tartar, sehingga hati dan niat mereka menjadi kuat. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/25)

Kemudian pasukan Syam berjalan lalu bertemu dengan pasukan Mesir di Marj Ash-Shafar. Mereka meminta kepada seluruh orang untuk berdo’a dan berjaga di pintu-pintu perbatasan. Maka orang-orang pun berdo’a di menara-menara, masjid-masjid dan di seantero kota.

Tatkala bertemu dengan Sultan Mesir, Syaikhul Islam memberikan semangat kepadanya agar terus melanjutkan perjalanannya, setelah hampir-hampir beliau berpatah kembali ke Mesir. Sultan meminta kepadanya agar tetap berada bersamanya selama pertempuran. Namun Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Berdasarkan sunnah, seseorang hendaklah berada di barisan panji kaumnya; dan aku berasal dari pasukan Syam, sehingga wajib tetap bersama mereka.”

Beliau mendorong sultan agar berperang dan memberinya khabar gembira yang berupa kemenangan dari Allah:

“Demi Allah, yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, kalian akan mendapatkan kemenangan kali ini.”

Mereka membalas:

“Katakanlah, insya-Allah.”

Lalu beliau berkata, “Insya-Allah itu pasti akan terjadi; bukan hanya kemungkinan.”

Ketika itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Ibnu Taimiyyah memberikan fatwa kepada orang ramai agar tidak berpuasa sepanjang dalam peperangan. Dirinya juga tidak berpuasa. Beliau berulang-alik di antara mereka dengan memakan sesuatu yang dibawanya. Beliau ingin memberitahu bahawa dengan tidak berpuasa akan menambahkan kekuatan, dan itu lebih baik ketika berperang. Akhirnya, orang-orang pun tidak merasa ragu untuk makan. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/27)

Ketika pasukan Syam bertempur dengan tentera Tartar maka Allah pun memberikan kemenangan yang gemilang bagi mereka. Itu adalah kerana mereka beriman kepada Allah dan benar-benar yakin dengan pertolongan-Nya. Tentera Tartar mundur lari dan berlindung ke gunung-gunung dan perbukitan. Begitulah Allah menghinakan mereka dan memberikan kemenangan kepada tentara-Nya. Kaum Muslimin merasa senang atas kemenangan besar tersebut dan bergembira atas penaklukan yang diberkahi tersebut. Dengan demikian, Allah telah menghilangkan kesusahan yang sangat besar dari kaum Muslimin; dan segala pujian hanyalah milik Allah. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/28)

Demikianlah telah kita lihat sikap Syaikhul Islam sebagai seorang mujahid yang berjuang, dengan tangan dan lisannya, dalam menghadapi fitnah besar yang menimpa dunia Islam di sekitar negeri Syam selama kurang lebih tiga tahun. Dalam fitnah tersebut, beliau tampil sebagai seorang tokoh yang menyerukan untuk berjihad melawan para pemberontak yang membuat kerosakan, menemui ahlul hal wal ‘aqdi dan memotivasikan mereka untuk tetap berjuang memerangi musuh, sambil memberikan khabar gembira berupa pertolongan Allah. Maka dengan kurnia-Nya, Allah pun menolong mereka [setelah mereka memegang kunci-kunci turunnya pertolongan Allah] dan menyelamatkan kaum Muslimin dari kejahatan para pemberontak yang membuat kerosakan. Alhamdulillah.

Walaupun Ibnu Taimiyyah telah menyerahkan jiwanya di jalan Allah serta sering berhubung dengan sultan dan para pemerintah, namun tidak pernah sedikit pun beliau meminta harta untuk kepentingan peribadinya. Bahkan beliau sangat tidak tertarik dengan kedudukan dan pangkat. Ibnu Taimiyyah berkata:

“Demi Allah jika aku dipenjara, maka bagiku itu merupakan nikmat Allah yang paling baik, aku tidak merasa bimbang terhadap apa yang dibimbangi oleh manusia; sama ada jawatan, bahagian tanah, harta, kepimpinan, dan apa pun ianya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 3/259)

Sekalipun Ibnu Taimiyyah memiliki peranan besar dalam meredakan fitnah dari tentera Tartar, menstabilkan kembali keamanan, dan menyatukan umat di bawah Sultan Mesir, namun beliau sendiri harus menghadapi fitnah yang dilakukan oleh ahli bid’ah dan pengamal fahaman sufi yang sesat. Semua itu kerana Syaikhul Islam mengajak umat untuk kembali kepada ‘aqidah Salaf, meninggalkan sifat taqlid buta dan bid’ah, sama ada dalam perkara-perkara yang bersifat ushul mahupun cabang-cabangnya.

‘Aqidah yang didakwahinya itu tidak diterima oleh kebanyakan ahli bid’ah dan orang-orang yang fanatik kepada mazhab tertentu. Fitnah-fitnah ini berterusan semenjak dari tahun 705H, sampailah ke hari wafatnya rahimahullah di benteng Damaskus pada tahun 728H. Sepanjang waktu tersebut beliau terus menyibukkan diri dengan ilmu, mengajar dan berjihad, sebagaimana yang terjadi pada tahun 712H, ketika bangsa Tartar bertujuan untuk kembali menyerang Syam. Ibnu Taimiyyah sekali lagi mendorong kaum Muslimin untuk bersiap-sedia menghadapi mereka. Beliau datang dari Mesir untuk mendampingi Sultan. Akan tetapi Allah telah menyelamatkan mereka, dan Tartar menarik pasukannya untuk kembali ke negerinya. (lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, 14/69)

Ibnu Taimiyah menetap di Damaskus dalam rangka mangajar dan memberikan fatwa. Sepanjang tahun-tahun tersebut, beliau sering melakukan perdebatan dan memberikan bantahan (kritikan ilmiyah) ke atas ahli bid’ah. Atas sebab itu jugalah, beliau berkali-kali dipenjara serta dilarang dari mengajar dan memberikan fatwa. Namun, beliau tetap patuh, taat, sabar, dan mengharap ganjaran Allah. Sampailah akhirnya fitnah-fitnah tersebut menyeretnya ke dalam penjara yang ada di benteng Damaskus. Selama dua tahun lebih beliau terpenjara hingga datang kewafatannya, semoga Allah merahmatinya. (lihat: Dzail Thabaqaat Al-Hanaabilah, 4/401)

Sepanjang di dalam penjara, Ibnu  Taimiyyah menulis dan menyusun buku. Beliau juga mengirim beberapa risalah kepada teman-temannya. Pada salah satu risalahnya, beliau menyampaikan ilmu yang sangat penting yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Apa yang dapat dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Syurga dan taman-tamannya berada di dadaku. Ke mana pun aku pergi, ia akan sentiasa bersamaku, dan tidak akan terpisah dariku. Penjara adalah peluang untuk ber-khalwah (menyendiri untuk beribadah) bagiku. Jika aku dibunuh, maka aku akan mati sebagai seorang syuhada. Dan jika aku diusir, maka kepergianku adalah rekreasiku.”

Lebih lanjut lagi, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

“Seandainya aku diberikan emas sepenuh benteng ini, nescaya itu tidak setara dengan rasa syukurku atas kenikmatan ini.”

Disebutkan bahawa beliau berkata:

“… nescaya perkara itu tidak dapat menggantikan kebaikan yang aku dapatkan dengan sebab perbuatan mereka.” (lihat: Dzail Thabaqaat Al-Hanaabilah, 4/402)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Demi ilmu Allah, aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih menyenangkan hidupnya dari Ibnu Taimiyyah. Walaupun beliau hidup dalam tahanan, diancam dan disiksa, namun beliaulah orang yang paling nikmat hidupnya, paling lapang dadanya, paling teguh hatinya, dan paling bahagia jiwanya. Ketenteraman begitu tampak di balik cahaya wajahnya.” (Al-Waabil Ash-Shayyib, m/s. 70)

Semua ketenteraman dan kesenangan ini diperolehinya kerana beliau tetap berpegang-teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; menjauhi setiap bentuk bid’ah yang merosakkan hati dan amal; redha terhadap qadha dan qadar Allah; serta menerima perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)

“Siapa yang mengerjakan amal soleh, sama ada lelaki mahupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Surah An-Nahl, 16: 97)

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“Ini adalah janji dari Allah Ta’ala kepada sesiapa saja yang melaksanakan amal-amal soleh berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Sama ada lelaki mahupun perempuan dari kalangan bani Adam, dengan penuh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya; dan bahawa amalan yang diperintahkan ini benar-benar telah disyari’atkan oleh Allah. Jika semua ini telah dipenuhi, nescaya Allah akan menganugerahi hamba tersebut dengan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Dan kehidupan yang baik ini mencakup pelbagai jenis kenikmatan dan dalam keadaan apa pun.” (Tafsiir Ibnu Katsir (4/601)

Demikianlah yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau menerima perintah-perintah syara’ dengan sepenuh hatinya dan sabar menghadapi setiap ujian yang dihadapainya. Dengan sikap tersebut jiwanya menjadi lapang, hatinya tenang, dan hidupnya nyaman, sampailah beliau bertemu dengan Allah sebagai seorang mujahid yang dizalimi namun tetap bersabar demi mencari redha-Nya.

Menceritakan biografi Ibnu Taimiyyah tentu memerlukan waktu yang banyak, halaman yang panjang, dan kefahaman yang mendalam. Itu bukanlah suatu yang mampu dilakukan oleh penulis. Pada perbahasan ini, penulis hanya menuturkan sepenggal dari siri kehidupannya, sekadar untuk dapat mengambil pelajaran dari sikapnya yang mulia dan dakwahnya yang penuh keberkahan. Semoga dari beberapa halaman yang sederhana ini, terdapat pelajaran yang singgah di hati pembaca, insya-Allah.

Pada akhir penjelasan tentang sikap Ibnu Taimiyyah yang mulia ini, kami meringkaskan beberapa pelajaran penting, di antaranya:

1, Bagi setiap penuntut ilmu yang ingin memperbaiki masyarakatnya, maka yang pertama sekali wajib dilakukan adalah memperkuatkan diri dengan ilmu yang luas berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman Salafush Sholeh.

2, Setiap da’i wajib mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam setiap keadaan, sama ada pada hal-hal yang bersifat ushul mahupun yang merupakan cabang-cabangnya.

3, Setiap da’i perlu memurnikan dakwahnya hanya untuk mengajak umat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah; sehingga yang didakwahkannya hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; jika dia berhujah, maka dia akan merujuk kepada keduanya; dan dia harus menerima kebenaran yang bersumber dari keduanya, siapa pun yang menyampaikannya.

4, Membantah ahli bid’ah dan para pengikut hawa nafsu. Agar kesucian dan kemurnian Islam tetap terpelihara sehingga masyarakat mampu bersatu (di atas kebenaran) dan pintu-pintu fitnah (kesamaran) dapat ditutup.

5, Memandang remeh usaha membantah ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu merupakan sikap yang mampu memecah-belah dan melemahkan masyarakat Islam. Jika sudah demikian, maka umat Islam akan mudah dikuasai musuh, dan ini termasuk penyebab terbesar terjadinya fitnah (pergolakkan da musibah).

6, Jika kerosakan yang dilakukan para ahli bid’ah tidak lagi dapat dikendalikan kecuali dengan peperangan, maka dibolehkan bagi pemerintah untuk memerangi mereka, dan kaum Muslimin wajib mentaati pemerintah dalam hal tersebut.

7, Jihad di jalan Allah tidak akan mampu ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam (pemimpin) Muslim, sehingga masyarakat (kaum muslimin) akan berjihad di bawah panjinya. Jika imam tersebut menyerukan untuk berjihad, maka setiap Muslim yang berada di bawah pimpinannya wajib taat, sama ada dia Muslim yang kuat ataupun tidak.

8, ketika terjadinya fitnah (ketidak-pastian, ujian, dan kekacauan), kaum Muslimin diwajibkan merujuk kepada ahlul hal wal ‘aqdi yang terdiri dari penguasa dan ulama, tanpa adanya penentangan atas segala perintah (yang ma’ruf).

9, Seorang Muslim diwajibkan berdiam diri dan tenang ketika terjadi fitnah; jangan berbicara kecuali atas sesuatu yang diketahuinya (dengan yakin) dan jangan mengambil tindakan apa-apa kecuali pada sesuatu yang telah diperintahkan oleh pemerintah. Sebab, Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati ‘Ulil Amri’.

10, Setiap orang, sama ada masyarakat awam ataupun para ulama, wajib bertaubat dan kembali kepada Allah ketika terjadi fitnah (musibah/ujian getir).

11, Para ulama wajib mendakwahkan kebenaran, menjelaskannya, dan mengamalkannya serta bersabar ketika melaksanakan semua itu, sekalipun dia ditentang oleh seluruh manusia. Kerana sesungguhnya Allah akan menjadikan ilmunya bermanfaat bagi umat, sekalipun kebenaran itu hanya akan tampak pada masa-masa yang akan datang.

12, Seorang Muslim harus tetap teguh dan istiqamah di atas manhaj yang lurus ini, sama ada ketika bersendirian ataupun di hadapan orang lain; redha dengan ujian yang telah Allah taqdirkan; tidak memanfaatkan ujian ini untuk memecah-belahkan umat atau mengadu-domba di antara sesama mereka, kerana perkara itu boleh membuka pintu fitnah terhadap umat ini. Akan tetapi, hendaklah dia tetap sabar dan lebih mementingkan kemaslahatan umat berbanding dirinya sendiri. Dengan sikap ini, dia akan diberi pahala dan mendapatkan ganjaran kerananya.

Inilah pelajaran terpenting dari sikap Syaikhul Islam rahimahullah ketika menghadapi fitnah. Ia merupakan sikap yang mulia yang penting untuk diterangkan, dan ada banyak pelajaran serta pengalaman yang dapat diambil darinya. Namun, semua itu memerlukan waktu yang cukup lama dan usaha yang cukup berat. Semoga pelajaran dan hikmah itu dapat terus digali oleh para penuntut ilmu dan semoga Allah memberi kemudahan kepada mereka untuk melakukannya. Agar manfaatnya dapat dirasai oleh seluruh kaum Muslimin.

Di antara hal yang membantu usaha tersebut adalah dengan terbitnya Kitab-kitab Syaikhhul Islam rahimahullah dan adanya perhatian dari para penuntut ilmu untuk menghimpun dan men-tahqiq-nya. Aku berpesan kepada para penuntut ilmu agar sentiasa memberikan perhatian kepada warisan agung salah seorang ulama Salaf ini dengan menghimpun, mengkaji, dan mempelajarinya. Sehingga Allah memenangkan agama-Nya melalui kita dan menjaga umat-Nya agar tetap mulia, kuat, bersatu, damai, serta jauh dari perpecahan dan fitnah. Hanya Allahlah yang dapat memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Tulisan ini dinukil dengan suntingan bahasa dari buku Fitnah Akhir Zaman Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i (m/s. 226-253) Cet. 2; November 2011M, terjemahan dari kitab Al-Fitnahtu wa Mauqifu Al-Muslim minha.


 

[1] Dzail Thabaqaat Al-Hanaabilah (4/389). Seandainya Adz-Dzahabi rahimahullah saja tidak menganggap dirinya layak untuk menerangkan kebaikan-kebaikan Syaikhul Islam, lalu bagaimana dengan kita? Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Recommend to friends
  • gplus
  • pinterest